Selasa, 18 Januari 2011

Saparua, Wisata Nostalgia Turis Eropa


KOMPAS/BUDI SUWARNA Dua bocah melompat ke laut di pantai Liang, di Ambon, yang jernih dan tenang, Minggu (28/3/2010). Pantai Liang adalah salah satu pantai berpasir putih yang banyak dikunjungi orang.

Editor : I Made Asdhiana
Rabu, 19 Januari 2011 | 08:21 WIB


Oleh: A Ponco Anggoro
SEPULUH tahun pascakonflik di Maluku, sektor pariwisata di Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, bergeliat kembali. Pulau kecil seluas 247 kilometer persegi itu tak hanya menawarkan pesona alam, tetapi juga jejak historis kedatangan bangsa Eropa di Nusantara.
Saparua, yang berjarak sekitar 50 mil dari Ambon, ibu kota Maluku, bisa dijangkau dengan kapal cepat selama satu jam dari Pelabuhan Tulehu, Maluku Tengah, di Pulau Ambon.
Pulau berpenduduk 36.698 jiwa ini bersama dua pulau lain di dekatnya yang tergabung dalam gugus Pulau Lease, yaitu Haruku dan Nusa Laut, pernah menjadi primadona wisata Maluku, sebelum kerusuhan 1999.
Ketua Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Maluku, Tony Tomasoa, menceritakan, sebelum tahun 1999 itu, destinasi wisata ke Saparua bersaing dengan Pulau Banda - ikon wisata lainnya di kepulauan rempah-rempah Maluku. Dua lokasi ini selalu menjadi rujukan bagi wisatawan yang berlibur ke Maluku.
Saparua, yang dikelilingi Laut Banda, menawarkan keindahan melalui pantai-pantainya. Mulai dari pantai berpasir putih, seperti pantai di samping Benteng Duurstede dan Kulur, hingga pantai yang dipenuhi batu karang, yaitu Tanjung Ouw.
Indahnya Tanjung Ouw bahkan diabadikan melalui lagu berjudul ”Tanjung Ouw” yang dipopulerkan penyanyi Bob Tutupoly. Di tempat ini keteduhan menyambut pengunjung.
Wisatawan biasanya menghabiskan waktu di Tanjung Ouw dengan bersantai menikmati keindahan karang yang panjang atau berenang di laut yang jernih. Berselonjor di bawah pohon kelapa semakin terasa nikmat saat semilir angin menerpa.
Tidak jauh dari Tanjung Ouw, wisatawan bisa melihat kepiawaian Oya Pelupessy (72) mengolah tanah liat menjadi sempeh atau gerabah. ”Turis senang melihat pembuatan sempeh. Tidak sedikit dari mereka yang mencoba membuat sendiri,” kata Oya. Buku tamu yang dimilikinya menunjukkan banyaknya wisatawan asal Belanda, Inggris, dan Swiss yang berkunjung ke sana.
Tak sebatas di permukaan, bawah laut Saparua pun memiliki pesona yang memukau. Menurut pengelola Mahu Village Lodge di Desa Mahu, Paul Tomasoa, setidaknya ada enam titik penyelaman yang digemari turis. Misalnya, di Tawaka, sekitar Pulau Molana, dan sekitar Nusa Laut. ”Terumbu karangnya bertingkat. Selain itu, ikan beraneka jenis bisa ditemukan di sana. Sering kali ikan-ikan itu seperti berbaris membentuk formasi bertingkat,” tuturnya.
Peninggalan sejarah
Saparua juga sarat peninggalan sejarah. Benteng Duurstede, benteng peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1676, adalah salah satunya. Benteng yang ada di bukit setinggi 20 kaki ini masih berdiri kokoh. Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy mengusir penjajah Belanda dari benteng ini tanggal 16 Mei 1817.
Dari atas benteng itu, pengunjung bisa melihat hampir seluruh Pulau Saparua hingga Pulau Nusa Laut yang berada di sebelah timur Saparua. Tak heran, jika benteng ini ”diburu” turis asing.
Di rumah yang pernah ditempati Pattimura, di Negeri Haria, pengunjung bisa melihat peninggalan sang kapitan. Di bangunan yang masih didiami keluarga Matulessy ini, terpajang celana tenun, selempang tenun, dan ikat kepala yang semuanya berwarna merah, yang pernah dikenakan Pattimura saat berjuang melawan Belanda. Sejumlah dokumen bercerita tentang perjuangan Pattimura. Menurut pihak keluarga, semua itu diperoleh dari Belanda.
Camat Saparua, Ferry Siahaya, mengatakan, lima tahun terakhir ini kunjungan ke Saparua relatif membaik. ”Rata-rata kunjungan turis asing di Saparua sekitar 20 orang setiap bulan. Bulan Desember, jumlahnya bisa meningkat menjadi 50-an orang,” katanya.
Mayoritas turis asing berasal dari Belanda, terutama yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga di Saparua. ”Ada juga yang berasal dari Inggris, Perancis, Swiss, dan Amerika Serikat,” papar Ferry.
”Keluarga dari Belanda kebanyakan datang pada bulan Desember. Natal menjadi momen berkumpul dengan keluarga di perantauan, termasuk yang di Belanda,” kata Raja Negeri Itawaka, LF Wattimena.
Meski demikian, baru Desember 2010 lalu Negeri Itawaka menggelar perayaan Natal sedunia. Saat itu, ada 30 warga negara Belanda yang datang. Menurut Wattimena, ikatan satu gandong atau satu kandunganlah yang merekatkan hubungan mereka, meski terpisah jarak dan status kewarganegaraan.
Tren meningkatnya jumlah wisatawan ini bisa jadi karena lebih mudahnya Saparua diakses dari Ambon. ”Beroperasinya kapal cepat dengan daya tampung sekitar 200 penumpang mendorong turis datang ke Saparua. Kapal yang beroperasi sejak tahun lalu itu dua kali sehari dari Ambon,” ujar Ferry.
Selain itu, ada pula penerbangan langsung dari Amsterdam, Belanda, ke Ambon, via Jakarta, yang dioperasikan Garuda Indonesia sejak pertengahan tahun lalu.
Pertengahan tahun lalu pula, pemerintah juga melakukan promosi yang cukup gencar terkait Festival Duurstede di Benteng Duurstede dan Sail Banda di Maluku. Ini tentunya menjadi salah satu pendongkrak peningkatan jumlah wisatawan ke pulau kecil itu.
Tak perlu heran jika kini bermunculan penginapan baru di sana. Dua dari lima penginapan yang sempat berhenti beroperasi akibat kerusuhan, kini juga beroperasi kembali. ”Rencananya, akan ada dua lagi penginapan dalam waktu dekat,” papar Ferry.
Paul Tomasoa optimistis, ke depan pariwisata Saparua akan pulih, seperti sebelum kerusuhan 1999. Namun, dia mengingatkan, geliat pariwisata yang kini sudah terasa itu harus diikuti perbaikan sumber daya manusia dan penambahan fasilitas penunjang bagi wisatawan.
”Tanpa perbaikan, promosi yang gencar yang dilakukan bisa jadi bumerang, karena ternyata kondisi di Saparua tidak sama dengan yang dipromosikan,” kata Paul lagi.
Robbie Pickering (30), turis asal Inggris yang sedang berwisata di Saparua, menyatakan hal serupa. ”Tempat seperti Saparua banyak dicari turis Eropa saat ini. Sebab, di sana sedang musim dingin, sedangkan di Saparua udaranya lebih panas dan bisa melihat matahari setiap hari. Tapi, dengan minimnya fasilitas, turis bisa mencari tempat lain yang fasilitasnya lebih baik,” katanya.
Kompas Cetak
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...