Oleh: A Ponco Anggoro
SEPULUH  tahun pascakonflik di Maluku, sektor pariwisata di Saparua, Kabupaten  Maluku Tengah, Maluku, bergeliat kembali. Pulau kecil seluas 247  kilometer persegi itu tak hanya menawarkan pesona alam, tetapi juga  jejak historis kedatangan bangsa Eropa di Nusantara.
Saparua, yang  berjarak sekitar 50 mil dari Ambon, ibu kota Maluku, bisa dijangkau  dengan kapal cepat selama satu jam dari Pelabuhan Tulehu, Maluku Tengah,  di Pulau Ambon.
Pulau berpenduduk 36.698 jiwa ini bersama dua  pulau lain di dekatnya yang tergabung dalam gugus Pulau Lease, yaitu  Haruku dan Nusa Laut, pernah menjadi primadona wisata Maluku, sebelum  kerusuhan 1999.
Ketua Asosiasi Agen Perjalanan Wisata Maluku, Tony  Tomasoa, menceritakan, sebelum tahun 1999 itu, destinasi wisata ke  Saparua bersaing dengan Pulau Banda - ikon wisata lainnya di kepulauan  rempah-rempah Maluku. Dua lokasi ini selalu menjadi rujukan bagi  wisatawan yang berlibur ke Maluku.
Saparua, yang dikelilingi Laut  Banda, menawarkan keindahan melalui pantai-pantainya. Mulai dari pantai  berpasir putih, seperti pantai di samping Benteng Duurstede dan Kulur,  hingga pantai yang dipenuhi batu karang, yaitu Tanjung Ouw.
Indahnya  Tanjung Ouw bahkan diabadikan melalui lagu berjudul ”Tanjung Ouw” yang  dipopulerkan penyanyi Bob Tutupoly. Di tempat ini keteduhan menyambut  pengunjung.
Wisatawan biasanya menghabiskan waktu di Tanjung Ouw  dengan bersantai menikmati keindahan karang yang panjang atau berenang  di laut yang jernih. Berselonjor di bawah pohon kelapa semakin terasa  nikmat saat semilir angin menerpa.
Tidak jauh dari Tanjung Ouw,  wisatawan bisa melihat kepiawaian Oya Pelupessy (72) mengolah tanah liat  menjadi sempeh atau gerabah. ”Turis senang melihat pembuatan sempeh.  Tidak sedikit dari mereka yang mencoba membuat sendiri,” kata Oya. Buku  tamu yang dimilikinya menunjukkan banyaknya wisatawan asal Belanda,  Inggris, dan Swiss yang berkunjung ke sana.
Tak sebatas di  permukaan, bawah laut Saparua pun memiliki pesona yang memukau. Menurut  pengelola Mahu Village Lodge di Desa Mahu, Paul Tomasoa, setidaknya ada  enam titik penyelaman yang digemari turis. Misalnya, di Tawaka, sekitar  Pulau Molana, dan sekitar Nusa Laut. ”Terumbu karangnya bertingkat.  Selain itu, ikan beraneka jenis bisa ditemukan di sana. Sering kali  ikan-ikan itu seperti berbaris membentuk formasi bertingkat,” tuturnya.
Peninggalan sejarah
Saparua  juga sarat peninggalan sejarah. Benteng Duurstede, benteng peninggalan  Belanda yang dibangun tahun 1676, adalah salah satunya. Benteng yang ada  di bukit setinggi 20 kaki ini masih berdiri kokoh. Kapitan Pattimura  yang bernama asli Thomas Matulessy mengusir penjajah Belanda dari  benteng ini tanggal 16 Mei 1817.
Dari atas benteng itu, pengunjung  bisa melihat hampir seluruh Pulau Saparua hingga Pulau Nusa Laut yang  berada di sebelah timur Saparua. Tak heran, jika benteng ini ”diburu”  turis asing.
Di rumah yang pernah ditempati Pattimura, di Negeri  Haria, pengunjung bisa melihat peninggalan sang kapitan. Di bangunan  yang masih didiami keluarga Matulessy ini, terpajang celana tenun,  selempang tenun, dan ikat kepala yang semuanya berwarna merah, yang  pernah dikenakan Pattimura saat berjuang melawan Belanda. Sejumlah  dokumen bercerita tentang perjuangan Pattimura. Menurut pihak keluarga,  semua itu diperoleh dari Belanda.
Camat Saparua, Ferry Siahaya,  mengatakan, lima tahun terakhir ini kunjungan ke Saparua relatif  membaik. ”Rata-rata kunjungan turis asing di Saparua sekitar 20 orang  setiap bulan. Bulan Desember, jumlahnya bisa meningkat menjadi 50-an  orang,” katanya.
Mayoritas turis asing berasal dari Belanda,  terutama yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga di  Saparua. ”Ada juga yang berasal dari Inggris, Perancis, Swiss, dan  Amerika Serikat,” papar Ferry.
”Keluarga dari Belanda kebanyakan  datang pada bulan Desember. Natal menjadi momen berkumpul dengan  keluarga di perantauan, termasuk yang di Belanda,” kata Raja Negeri  Itawaka, LF Wattimena.
Meski demikian, baru Desember 2010 lalu  Negeri Itawaka menggelar perayaan Natal sedunia. Saat itu, ada 30 warga  negara Belanda yang datang. Menurut Wattimena, ikatan satu gandong atau  satu kandunganlah yang merekatkan hubungan mereka, meski terpisah jarak  dan status kewarganegaraan.
Tren meningkatnya jumlah wisatawan ini  bisa jadi karena lebih mudahnya Saparua diakses dari Ambon.  ”Beroperasinya kapal cepat dengan daya tampung sekitar 200 penumpang  mendorong turis datang ke Saparua. Kapal yang beroperasi sejak tahun  lalu itu dua kali sehari dari Ambon,” ujar Ferry.
Selain itu, ada  pula penerbangan langsung dari Amsterdam, Belanda, ke Ambon, via  Jakarta, yang dioperasikan Garuda Indonesia sejak pertengahan tahun  lalu.
Pertengahan tahun lalu pula, pemerintah juga melakukan  promosi yang cukup gencar terkait Festival Duurstede di Benteng  Duurstede dan Sail Banda di Maluku. Ini tentunya menjadi salah satu  pendongkrak peningkatan jumlah wisatawan ke pulau kecil itu.
Tak  perlu heran jika kini bermunculan penginapan baru di sana. Dua dari lima  penginapan yang sempat berhenti beroperasi akibat kerusuhan, kini juga  beroperasi kembali. ”Rencananya, akan ada dua lagi penginapan dalam  waktu dekat,” papar Ferry.
Paul Tomasoa optimistis, ke depan  pariwisata Saparua akan pulih, seperti sebelum kerusuhan 1999. Namun,  dia mengingatkan, geliat pariwisata yang kini sudah terasa itu harus  diikuti perbaikan sumber daya manusia dan penambahan fasilitas penunjang  bagi wisatawan.
”Tanpa perbaikan, promosi yang gencar yang  dilakukan bisa jadi bumerang, karena ternyata kondisi di Saparua tidak  sama dengan yang dipromosikan,” kata Paul lagi.
Robbie Pickering  (30), turis asal Inggris yang sedang berwisata di Saparua, menyatakan  hal serupa. ”Tempat seperti Saparua banyak dicari turis Eropa saat ini.  Sebab, di sana sedang musim dingin, sedangkan di Saparua udaranya lebih  panas dan bisa melihat matahari setiap hari. Tapi, dengan minimnya  fasilitas, turis bisa mencari tempat lain yang fasilitasnya lebih baik,”  katanya.
Kompas CetakSumber :